Kejombloan
telah menjadi guyonan populer di kalangan anak muda terutama melalui meme di
dunia maya. Beberapa kalangan menganggap bahwa jomblo mendukung tren penurunan
angka kelahiran setidaknya dalam selama enam tahun terakhir. Tetapi sulit untuk
menyimpulkan bahwa secara umum kaum jomblo berperan dalam stagnannya angka
kelahiran.
Betolak
belakangan dengan pembahasan jomblo-belum menikah, akhir-akhir ini pemerintah sedang menggodok
perluasan undang-undang yang mengtatur mengenai perzinaan. Dalam pasal 483 ayat (1) huruf e-RKUHP
dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam
perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana dengan ancaman
penjara paling lama lima tahun (RUU KUHP ZINA). Hal ini
telah membawa perdebatan di kalangan masyarakat dan mempertanyakan urgency dari
perluasan peraturan tersebut.
Negara kita,
Indonesia, ialah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama,
juga adat, serta budaya. Itulah yang membuat pasal-pasal dalam undang-undang
kita yang telah dibuat oleh pemimpin terdahulu kita, disesuaikan dengan nilai
dan moral. Hal ini lah yang menyebabkan sebuah peraturan tidak dapat ditetapkan
begitu saja tanpa memikirkan hal-hal keadatan. Hal ini menimbulkan
penyamarataan adat budaya, seperti pernikahan siri secara adat, pernikahan di
bawah umur, pernikahan poligami, yang diperbolehkan di beberapa adat tertentu.
Apakah mereka harus dihukum pidana lima tahun?
Peraturan di
negara kita yang terkadang ambigu juga membuat polemik. Peraturan memang
banyak, namun eksekusi dan aparat tidak menjalankan kewajibannya dengan baik,
sehingga menimbulkan hal-hal seperti main hakim sendiri yang dapat menimbulkan
kematian, dan justru hal ini lah yang lebih merugikan dibandingkan perzinaan
itu sendiri, tanpa mengetahui kebenaran dari kejadian. dan kembali
dipertanyakan, apakah mereka harus dihukum pidana lima tahun, sementara mereka
yang main hakim sendiri berkeliaran?
trulychristina
14150216